X

Contoh Cerpen Singkat Tentang Lingkungan

Cerpen adalah kependekan dari Cerita Pendek, yang secara singkat diartikan sebagai sebuah bagian dari karya sastra yang menceritakan tentang seseorang dan segala yang berkaitan dengannya dalam sebuah tulisan pendek. Definisi cerpen yang dijabarkan menurut ahli sastra adalah sebuah karangan fiktif yang menceritakan sebagian hidup seseorang dan kehidupannya secara ringkas (Pradopo, 2010: 6). Cerita pendek sebagian besar berisikan tidak lebih dari 10.000 kata.

Cerpen merupakan karya sastra yang banyak penggemarnya karena selain cerita dibungkus secara ringkas, pembaca juga tidak mudah bosan untuk menikmatinya. Apalagi saat ini cerpen dapat dengan mudah dijumpai di surat kabar lokal setiap minggunya yang dikarang oleh penulis-penulis berbakat yng sudah mahir mengolah kata. Cerpen memiliki beberapa kriteria penulisan, struktur penulisan, serta harus mencakup unsur intrinsik sebuah cerita. Penjabaran mengenai kriteria cerpen tersebut akan dipaparkan pada uraian berikut ini.

Struktur Cerita Pendek

Struktur teks pada sebuah cerita pendek harus memenuhi bagian-bagian sebagai berikut :

  • Abstrak, merupakan sebuah sketsa awal dan meringkas isi cerpen yang akan dibuat.
  • Orientasi, merupakan keterkaitan cerpen dengan periode/waktu, tempat, dan suasana.
  • Komplikasi, merupakan urutan kejadian dapat menjadi sebuah konflik, pada tahap ini ditemukan karakter tiap tokoh dalam cerita.
  • Evaluasi, pencarian solusi yang mengarah pada klimaks cerita.
  • Resolusi, pelaksanaan solusi yang telah ditemukan.
  • Koda, adalah nilai atau amanat yang dapat diambil dari cerita.

Contoh Cerpen Singkat

1. Ujung Tombak Sehatku
(Karya Gayatri)

Ketika ayam jantan berkokok subuh itu, aku tahu banyak aktifitas yang menungguku hari ini. Sekolah, ekstrakurikuler, belum lagi les privat yang menyita waktuku beradu tawa dengan ayah dan ibu. Sambil menggeliat aku masih sesekali memejamkan mata,

“Indahnya kalau setiap pagi aku lepas dari rutinitas bersepeda menuju sekolah, belajar, dan belajar”, gumamku dalam hati.

Sambil terbangun dan bergegas menuju kamar mandi sebelum kakakku masuk mendahului, aku mengingat apa yang perlu kubawa.

Setibanya aku di ruang makan, mataku terbelalak karena hanya aku yang ada disana. Sementara Ibu tengah memasak didapur. Tidak seperti biasanya pemandangan yang tampak kali ini. Sampai pertanyaan ibu menyadarkanku.

“Tumben hari Minggu begini kamu rajin bangun pagi Edo?”

Hah! Ternyata hari memang tengah libur, dan aku sudah dibangunkan dengan guyuran air yang begitu dingin efek hujan semalaman.

Kecewa. Tapi aku mencoba berpikir lain. Alangkah baiknya kalau hari ini aku berlibur, bermain sepuasnya, sambil olahraga pagi. Rasanya sudah lama sekali kebiasaan itu tidak aku jamah lagi.

“Ibu, aku pergi ke taman kota saja ya.” Saat ibu mengangguk, itu artinya izin sudah kudapatkan.

Aku bergegas mengambil sepeda gunung hadiah dari ayah saat aku juara melukis. Sambil membawa bekal makanan ringan aku berangkat menuju balai kota. Taman kota Surabaya sekarang sudah jauh berbeda dari sepuluh tahun lalu, saat aku masih kecil. Diusiaku yang sudah belasan tahun akhirnya aku dapat menikmati satu hari dimana ada area aman dari ancaman polusi udara.

Ya. Polusi udara merupakan musuh buatku. Andai saja semua bisa kembali pada zaman dulu, zaman kerajaan. Dimana semua kendaraan tidak ada dan hanya tersedia dokar yang ditarik oleh kuda. Menyenangkan dan tanpa asap-asap yang mengganggu pernapasan dan membawa penyakit. Tapi tanpa kemajuan peradaban jelas itu bukan sebuah kehidupan. Mencoba menikmati apa yang ada saat ini mungkin lebih baik sambil tetap menjaga alam.

Bicara soal menjaga alam, aku sambil menengok sebagian besar taman yang sudah diperbaiki, dibenahi, dan dipercantik oleh Bu Risma. Walikota terbaik Asia itu ternyata memang peduli pada dampak lingkungan akibat pembangunan dan pengrusakan disana-sini.Surabaya yang dikenal sebagai kota pahlawan agaknya memang memiliki kondisi yang cukup memprihatinkan beberapa tahun lalu. Selain polusi dari asap motor, banyak pabrik yang didirikan diwilayah ini. Semakin sesak rasanya. Udara sejuk pun, tak ada.

Pemerintah kota Surabaya saat ini sedang gencarnya membangun semua infrastuktur yang ramah bagi warganya. Mulai dari taman kota, ruang terbuka hijau, mangrove dan beberapa fasilitas umum menarik lainnya.

“Aku bangga jadi warga Surabaya”, celotehku sendiri.

Pandanganku sedikit terganggu saat beberapa petugas kebersihan membersihkan sisa sampah dipinggir jalan. Sampah bekas adik-adik yang kebetulan mengadakan pertemuan, entah apa yang dibicarakan mereka saat itu. Aku hanya sempat memandangi sesekali mata mereka melirik sekeliling dan sambil memainkan lirikan itu mereka membuang bungkus plastik bekas es yang dikonsumsi.

Disinilah aku tergugah, kalau saja laskar kuning itu tidak ada. Kemana perginya sampah-sampah itu? Sungai? Banjir akibat dari kelalaian manusia. Aku menghela napas panjang, semerbak bau sampah masih mampir ke hidungku.

“Busuuukkk”, aku bergegas mengambil sepedaku dan menuju rumah karena hari sudah semakin siang.

Melewati tingkah pola masyarakat di perkotaan membuatku rindu suasana desa. Ya, aku kangen dengan kakek dan nenek. Belum lagi persawahan yang hijau dengan rimbun daun dan bunyi kerbau yang membajak. Pemandangan yang hanya aku dapat saat mudik lebaran saja. Aku tetap bersyukur hidup di kota, dengan pembangunan yang semakin menunjukan tingginya kualitas sumber daya manusia di Indonesia.

Dari ujung jalan menuju perumahan tempat tinggalku, ramai sekali. Kukira ada kampanye atau semacamnya, mengingat tahun ini adalah tahun pilkada serentak. Ada ayah, kakak, dan Ibu juga ada disana sambil membawa teko berisi minuman.

“Edo, sini ikut sini,”panggil kakakku.

Aku pun beranjak menemui semua warga yang memang sedang berkumpul sambil berpakaian lusuh serta keringat yang membasahi tubuh mereka.

“Edo, kamu tadi tidak ikut membantu ya? Kemana saja kamu?”, tanya kakak.

“Iya, semua teman-teman kamu saja ikut membantu ayah tadi membersihkan selokan”. Sahut ayah.

Rupanya semua warga perumahan Darmo sedang mengadakan kerja bakti massal. Hampir seluruh warga di perumahan ikut serta. Menyenangkan ternyata membersihkan lingkungan rumah bersama-sama sambil menikmati hidangan yang sudah disiapkan para ibu di rumahnya masing-masing.

“Setelah ini kamu ikut ya Edo, kita sama-sama pergi ke taman masuk area perumahan”, ajak ayah.

“Memangnya kita mau apa disana”, tanyaku.

“Nanti kita semua akan memebrikan bak sampah gratis untuk dipasang di area taman. Ayah sudah membelinya kemarin, kita semua bersama-sama merapikan taman perumnas.

Penjelasan sesaat ayah itu membuatku takjub. Ternyata kepedulian memang harus dinyatakan dengan sikap, bukan hanya berteori saja. Alangkah baiknya kalau aku tadi juga melakukan tindakan dengan memungut sampah bekas es loli yang dibuang sembarangan dari pada menghardik pemilik sampahnya yang masih anak-anak. Ya, aku sekarang sudah dewasa.

“Begini Bapak Ibu sekalian. Sebagai warga yang peduli dengan kebersihan dan kesehatan, kita wajib mengaplikasikan tindakan yang memang mencerminkan kepedulian kita. Saat ini warga kampung kita mampu menyumbang empat puluh bak sampah yang sedianya akan dipakai di taman perumnas. Nah, dengan tindakan ini pasti anak-anak kita bisa meniru nanti.” ungkap ketua RT di kampungku.

Semakin bangga saja aku tinggal di tempat ini. Warga yang cepat tanggap serta lingkungan yang akan selalu bersih karena warganya peduli sampah. Alhasil, sepertinya tidak ada banjir di wilayah rumahku.

Rombongan kampung berjalan menuju taman yang berjarak sekitar dua kilometer. Dipasangnya bak sampah tersebut secara permanen agar terhindar dari pencurian. Maklum kawasan kota sebesar ini pasti rawan hal semacam itu. Aku ikut menyaksikan dan membantu ayah memasang paku di sudut-sudut bak sampah untuk dikaitkan dengan papan. Senangnya jika semua warga seperti ini, sosialisasi dimana-mana, membangun silahturahmi dengan tetangga. Apalagi dengan kegiatan positif. Mulai saat ini aku akan lebih peka dan belajar bahwa semua hal yang baik harus segera direalisasikan. Memulainya dari diri sendiri itu lebih baik, daripada hanya mengomel dan mencaci dalam hati saat ada prilaku orang yang tidak sesuai dengan keinginan kita.

“Edo, kok malah melamun kamu? Katanya mau bantu ayah?”, sapaan ayah menyadarkanku.

Aku kembali bergelut dengan sekop dan tanah sambil sesekali merapikan tanaman yang sempat kami bongkar tadi.
Diseberang sana aku melihat adik kecil, balita kira-kira umurnya, memandangiku sambil tersenyum. Dia memegang es loli yang tinggal beberapa tetes lagi. Aku kira dia akan menyapaku saat itu, ternyata hanya ingin membuang bungkus es loli di bak sampah yang baru saja kami pasang.

“Adik yang pintar, gumamku.

TAMAT

2. Satu Orang Satu Pohon
(Karya Dewi Lestari)

Ada yang tidak beres dalam perjalanan saya menuju Jakarta. Di sepanjang jalan menuju gerbang tol Pasteur, saya melihat pokok-pokok palem dalam kondisi terpotong-potong, tersusun rapi di sanasini, apakah ini jualan khas Bandung yang paling baru? Sayup, mulai terdengar bunyi mesin gergaji. Barulah saya tersadar. Sedang dilakukan penebangan pohon rupanya. Dari diameter batangnya, saya tahu pohon-pohon itu bukan anak kemarin sore. Mungkin umurnya lebih tua atau seumur saya. Pohon palem memang pernah jadi hallmark Jalan Pasteur, tapi tidak lagi. Setidaknya sejak hari itu.

Hallmark Pasteur hari ini adalah jalan layang, Giant, BTC, Grand Aquila, dan kemacetan luar biasa. Bukan yang pertama kali penebangan besar-besaran atas pohon-pohon besar dilakukan di kota kita. Seribu bibit jengkol pernah dipancangkan sebagai tanda protes saat pohon-pohon raksasa di Jalan Prabudimuntur habis ditebangi. Jalan Suci yang dulu teduh juga sekarang gersang. Kita menjerit sekaligus tak berdaya. Bukankah harus ada harga yang dibayar demi pembangunan dan kemakmuran Bandung? Demi jumlah penduduknya yang membuncah? Demi kendaraan yang terus membeludak? Demi mobil plat asing yang menggelontori jalanan setiap akhir pekan? Beda dengan sebagian warganya, pohon tidak akan protes sekalipun ratusan tahun hidupnya disudahi dalam tempo sepekan.

Pastinya lebih mudah menebang pohon daripada menyumpal mulut orang. Seorang arsitek legendaris Bandung pernah berkata, lebih baik ia memeras otak untuk mendesain sesuai kondisi alam ketimbang harus menebang satu pohon saja, karena bangunan dapat dibangun dan diruntuhkan dalam sekejap, tapi pohon membutuhkan puluhan tahun untuk tumbuh sama besar. Sayangnya, pembangunan kota ini tidak dilakukan dengan paham yang sama.

Para pemimpin dan perencana kota ini lupa, ukuran keberhasilan sebuah kota bukan kemakmuran dadakan dan musiman, melainkan usaha panjang dan menyicil agar kota ini punya lifetime sustainability sebagai tempat hidup yang layak dan sehat bagi penghuninya. Bandung pernah mengeluh kekurangan 650.000 pohon, tapi di tangannya tergenggam gergaji yang terus menebang. Tidakkah ini aneh? Tak heran, rakyat makin seenaknya, yang penting dagang dan makmur. Bukankah itu contoh yang mereka dapat? Yang penting proyek ‘basah’ dan kocek tambah tebal. Proyek hijau mana ada duitnya, malah keluar duit. Lebih baik ACC pembuatan mall atau trade centre. Menjadi kota metropolis seolah-olah pilihan tunggal. Kita tidak sanggup berhenti sejenak dan berpikir, adakah identitas lain, yang mungkin lebih baik dan lebih bijak, dari sekadar menjadi metropolitan baru? Saya percaya perubahan bisa dilakukan dari rumah sendiri, tanpa harus tunggu siapa-siapa. Jika kita percaya dan prihatin Bandung kekurangan pohon, berbuatlah sesuatu. Kita bisa mulai dengan Gerakan Satu Orang Satu Pohon.

Hitung jumlah penghuni rumah Anda dan tanamlah pohon sebanyak itu. Tak adanya pekarangan bukan masalah, kita bisa pakai pot, ember bekas, dsb. Mereka yang punya lahan lebih bisa menanam jumlah yang lebih juga. Anggaplah itu sebagai amal baik Anda bagi mereka yang tak bisa atau tak mau menanam. Pesan moralnya sederhana, kita bertanggung jawab atas suplai oksigen masing-masing. Jika pemerintah kota ini tak bisa memberi kita paru-paru kota yang layak, tak mampu membangun tanpa menebang pohon, mari perkaya oksigen kita dengan menanam sendiri.

Ajarkan ini kepada anak-anak kita. Tumbuhkan sentimen mereka pada kehidupan hijau. Bukan saja anak kucing yang bisa jadi peliharaan lucu, mereka juga bisa punya pohon peliharaan yang terus menemani mereka hingga jadi orangtua. Mertua saya punya impian itu. Di depan rumah yang baru kami huni, ia menanam puluhan tanaman kopi. Beliau berharap cucunya kelak akan melihat cantiknya pohon kopi, dengan atau tanpa dirinya. Sentimen sederhananya tidak hanya membantu merimbunkan Bukit Ligar yang gersang, ia juga telah membuat hallmark memori, antara dia dan cucunya, lewat pohon kopi. Kota ini boleh jadi amnesia. Demi wajahnya yang baru (dan tak cantik), Bandung memutus hubungan dengan sekian ratus pohon yang menyimpan tak terhitung banyaknya memori. Kota ini boleh jadi menggersang. Jumlah taman bisa dihitung jari, kondisinya tak menarik pula. Namun mereka yang hidup di kota ini bisa memilih bangun dan tak ikut amnesia. Hati mereka bisa dijaga agar tidak ikut gersang.

Rumah kita masih bisa dirimbunkan dengan pohon dan aneka tanaman. Besok, atau lusa, siapa tahu? Bandung tak hanya beroleh 650.000 pohon baru, melainkan jutaan pohon dari warganya yang tidak memilih diam.

TAMAT

Demikian artikel informatif mengenai contoh cerpen singkat tentang lingkungan, semoga bermanfaat.

Categories: cerpen
Ratna Sumarni S.Pd: