3 Contoh Puisi Elegi dalam Bahasa Indonesia
Sebelumnya, kita telah mengetahui berbagai contoh puisi dari macam-macam puisi baru beradasarkan isinya, seperti contoh puisi epigram, contoh puisi balada, dan contoh puisi himne. Kali ini, kita juga akan mengetahui beberapa contoh puisi dari salah satu macam puisi berdasarkan isinya. Adapun salah satu macam puisi tersebut adalah elegi. Puisi tersebut merupakan jenis-jenis puisi yang berisi ratapan ataupun kesedihan.
Adapun beberapa contoh puisi elegi dalam bahasa Indonesia adalah sebagai berikut.
Contoh 1:
Derai-Derai Cemara¹
Karya: Chairil Anwar
cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam
aku orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan lagi
hidup hanyalah menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tak diucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah
1949
¹Chairil Anwar, “Derai-Derai Cemara,” Kakilangit (Horison), April 2016, hlm 9.
Contoh 2:
Sia-Sia²
Karya: Chairil Anwar
Penghabisan kali itu kau datang
Membawa kembang berkarang
Mawar merah dan melati putih
Darah dan suci
Kau tebarkan depanku
Serta pandang yang memastikan: untukmu
Lalu kita sama termangu
Saling bertanya: apakah ini?
Cinta? Kita berdua tak mengerti
Sehari kita bersama. Tak gampir-menghampiri.
Ah! Hatiku yang tak mau memberi
Mampus kau dikoyak-koyak sepi.
Februari, 1943
²Ibid, hlm 4.
Contoh 3:
Kesaksian Akhir Abad³
Karya: WS Rendra
Ratap tangis menerpa pintu kalbuku.
Bau anyir darah mengganggu tidur malamku.
O, tikar tafakur!
O, bau sungai tohor yang kotor!
Bagaimana aku akan bisa
membaca keadaan ini?
Di atas atap kesepian nalar pikiran
yang digalaukan oleh lampu-lampu kota
yang bertengkar dengan malam,
aku menyerukan namamu:
wahai para leluhur Nusantara!
O, Sanjaya!
Leluhur dari kebudayaan tanah.
O, Purnawarman!
Leluhur dari kebudayaan air!
Kedua wangsamu telah mampu
mempersekutukan budaya tanah dan air!
O, Resi Kuturan! O, Resi Nirarta!
Empu-empu tampan yang penuh kedamaian!
Telah kamu ajarkan tatanan hidup
yang aneka dan sejahtera,
yang dijaga oleh dewan huku adat.
O, bagaimana aku bisa mengerti bahasa bising dari
bangsaku ini?
O, Kajao Laliddo! Bintang cemerlang Tana Ugi!
Negarawan yang pintar dan bijaksana!
Telah kamu ajarkan aturan permainan
di dalam benturan-benturan keinginan
yang berbagai ragam
di dalam kehidupan:
ade, bicara, rapang, dan wari.
O, lihatlah wajah-wajah berdarah
dan rahim yang diperkosa
muncul dari puing-puing tatanan hidup
yang porak poranda.
Kejahatan kasatmata
tertawa tanpa pengadilan.
Kekuasaan kekerasan
berak dan berdahak
di atas bendera kebangsaan.
O, anak cucuku di zaman Cybernetic!
Bagaimana kalian akan baca prasasti dari zaman kami?
Apakah kami akan mampu
menjadi ilham bagi kesimpulan
ataukah kami justru
menjadi sumber masalah
di dalam kehidupan?
Dengan puisi ini aku bersaksi
bahwa rakyat Indonesia belum merdeka.
Rakyat yang tanpa hak hukum
bukanlah rakyat merdeka.
Hak hukum yang tidak dilindungi
oleh lembaga pengadilan yang tinggi
adalah hukum yang ditulis di atas air
……………………………….
31 Desember 1999, Candi Ceto
6 November 2000, Balikpapan
³WS Rendra, Doa Untuk Anak Cucu, (Yogyakarta, Bentang Pustaka:2016), hlm 34-35.
Demikianlah beberapa contoh puisi elegi dalam bahasa Indonesia. Jika pembaca ingin mengetahui contoh puisi lainnya, pembaca bisa membuka artikel contoh puisi singkat, contoh puisi 3 bait tentang Ibu, dan contoh puisi 3 bait tentang sahabat. Semoga bermanfaat untuk para pembaca sekalian.