X

Teks Ulasan dalam Bahasa Indonesia – Pengertian, Ciri, Struktur dan Contohnya

Ketika kita membaca surat kabar, majalah atau bahkan membaca di internet, kita kerap menemui beragam teks ulasan yang mengulas mengenai buku, film, lagu, atau karya sastra lainnya. Menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2014), teks ulasan merupakan sebuah teks yang dihasilkan dari sebuah analisis terhadap berbagai hal. Analisis itu bisa berbentuk buku, novel, berita, laporan, atau dongeng. Teks tersebut memberikan tanggapan atau analisis yang berhubungan dengan latar, waktu, tempat, serta karakter yang ada di dalam teks tersebut.

Pengertian

Teks ulasan dalam Bahasa Indonesia adalah suatu teks yang berisi pembahasan ataupun penilaian terhadap suatu buku atau karya-karya lain dan ditujukan untuk kepentingan orang lain. Teks ulasan disusun berdasarkan tafsiran maupun pemahaman atas isi buku yang dibaca. Hasil pemahaman tersebut kemudian disampaikan kepada khalayak.

Ciri

Sebagaimana teks prosedur dalam Bahasa Indonesia atau teks lainnya, teks ulasan juga memiliki ciri atau karakteristik kaidah kebahasaan tertentu. Adapun ciri atau karakteristik kaidah kebahasaan teks ulasan dalam Bahasa Indonesia adalah sebagai berikut.

  • Menggunakan konjungsi penerang, seperti bahwa, yakni, yaitu.
  • Menggunakan konjungsi temporal, seperti sejak, semenjak, kemudian, akhirnya.
  • Menggunakan konjungsi penyebab, seperti karena, sebab.
  • Menggunakan pernyataan-pernyataan yang berupa saran atau rekomendasi pada bagian akhir teks. Hal ini ditandai dengan kata jangan, harus, hendaknya.
  • Menggunakan kata sifat sikap seperti lembut, nakal, antagonis, teladan, eksotis.
  • Menggunakan kata benda yaitu kata yang mengacu pada manusia, binatang, benda, dan konsep atau pengertian. Kata benda tidak dapat diingkarkan dengan kata tidak.
  • Menggunakan kata kerja yaitu kata yang mengandung makna perbuatan (aksi), proses, atau keadaan yang bukan sifat. Pada umumnya, kata kerja tidak dapat bergabung dengan kata-kata yang menyatakan kesangatan.
  • Menggunakan metafora yaitu pemakaian kata atau kelompok kata bukan dengan arti yang sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan.
  • Menggunakan kata rujukan yang merujuk pada partisipan tertentu.
  • Menggunakan kalimat kompleks (kalimat majemuk), baik kalimat majemuk setara maupun kalimat majemuk bertingkat.

Struktur

Selain memiliki ciri khusus, teks ulasan pun memiliki struktur teksnya sendiri. Adapun struktur teks ulasan dalam Bahasa Indonesia meliputi identitas karya, orientasi, sinopsis, analisis, evaluasi, dan rekomendasi.

  • Identitas karya mencakup judul, pengarang, penerbit, tahun terbit, tebal halaman, dan ukuran buku. Jika yang diulas adalah film atau lagu maka identitas karya yang dimaksud tidak dinyatakan secara langsung.
  • Orientasi berisi gambaran umum suatu karya yang akan diulas seperti nama, kegunaan, dan sebagainya. Orientasi biasanya tercantum pada paragraf pertama.
  • Sinopsis berupa ringkasan yang menggambarkan pemahaman penulis terhadap isi karya yang diulas.
  • Analisis berupa paparan tentang keberadaan unsur-unsur cerita seperti tema, penokohan, dan alur.
  • Evaluasi berupa paparan tentang kelebihan dan kekurangan suatu karya.
  • Rekomendasi berisi saran-saran kepada pembaca.

Contoh

Pada kesempatan yang lalu, kita telah memahami contoh teks ulasan singkat dalam Bahasa Indonesia. Berikut disajikan contoh teks ulasan tentang buku dalam Bahasa Indonesia yang disadur dari Harian Kompas, 28 April 2018.

  Aktifisme Bersajak Penghayat Alam*
  Oleh : Muhammad Khambali
Judul Buku : Kekasih Teluk
Penulis Buku : Saras Dewi
Penerbit : PBP Publishing/PWAG Indonesia
Cetakan : I, Mei 2017
Tebal : 124 halaman

Menyimak sajak demi sajak dalam buku ini mengantar kesenduan Saras Dewi berlagu : Menatap lembayung di langit Bali, dan kusadari betapa berharga kenanganmu. Di kala jiwaku tak terbatas, bebas berandal mengulang waktu. Saras Dewi, melalui “Kekasih Teluk” dan “Lembayung Bali”, lagu lawasnya lima belas tahun silam, mengungkap kegelisahan yang sama. Satu lewat lagu, satu lagi lewat puisi. Ia mengenang sekaligus mencemaskan Bali sebagai kampung halamannya.

Kita akan mendapati romantisisme dalam sajak-sajak Saras Dewi. Buku sajak “Kekasih Teluk” ini diakui Saras Dewi menjadi semacam ucapan terima kasihnya kepada Teluk Benoa, Bali. Saras Dewi lahir di Denpasar, kemudian meninggalkan Bali dan mengajar filsafat di Universitas Indonesia. Semenjak mengajar, Saras Dewi mengeluhkan hidupnya laksana mesin filsafat yang sehari-hari dihabiskan untuk membangun argumen kokoh dan logis.

Rasa puitiknya terenggut, digantikan kebisingan kota yang menuntut rutinitas dan kemonotonan. Bagi Saras Dewi, “Hari-hari saya bersama Teluk Benoa adalah keintiman yang mengisi jiwa dengan harapan. Ia memperbaharui hidup saya, menyambung kembali cinta yang sempat tercerai dengan kampong halaman.”

Menjadi seorang akademisi tidak membikin Saras Dewi berjarak dengan Bali ataupun laku aktivisme. Saras Dewi adalah seorang intelektual yang merasa tidak munkin berdiam diri saja di rumah ilmu, yakni universitas. Saras Dewi tidak ingin seperti jamaknya intelektual di Indonesia yang nyaman berada di menara gading dalam balutan gelar, martabat, ataupun pekerjaan akademik.

Setidaknya sajak “Rumah Ilmu” menandaskan itu. Meski pengetahuan disebutnya memberikan bilik ruang yang nyaman diselimuti buku-buku, tidak terlibat terhadap “untaian kesengsaraan”, menurut dia, menjadi wujud kejahatan. Sosok intelektual yang rendah hati juga begitu kuat dalam sajak “Takut”. Saras Dewi merasa pikiran merintangi kebebasannya dan “pengetahuan tidak menyelamatkanku” (hlm.31)

Menolak Reklamasi
Kita tahu selama bertahun-tahun terakhir ini Saras Dewi menceburkan dirinya sebagai seorang aktivis lingkungan hidup. Dia aktif dalam gerakan Bali Tolak Reklamasi. Dapat dikatakan sajak-sajaknya dalam “Kekasih Teluk” ini tidak lain adalah sebentuk ekspresi puitiknya atas laku aktivismenya tersebut. Sajak Dewi bersajak untuk melawan. Sajak-sajaknya menjadi artikulasi penolakannya atas reklamasi Teluk Benoa bahwa ia, “Tidak mau manusia menang dalam perkelahian tidak setimbang dengan alam.”

Saras Dewi dalam sajak berjudul “Ibu” tersebut melanjutkan, Sebab bila mereka menang, berarti mereka telah kalah/Karena mereka sejatinya membunuh/Ibunya sendiri. Alam adalah ibu bagi manusia. Manusia lahir dan dibesarkan bersama alam. Dalam sajak tersebut, keserakahan dan arogansi manusia pada alam bak seorang anak yang mendurhakai, bahkan membunuh ibunya. Tidak hanya “ibuisme” dalam melukiskan hubungan mesra antara manusia dan alam. Saras Dewi banyak melakukan personifikasi alam : nyanyian lumba-lumba,  pancaran mata anjing, laut, gunung, padang lamun, pohon, angin, senja, dan gemericik sungai. Agama manusia, bagi Saras Dewi tertera di dalam guratan batang-batang pepohonan raksasa (hlm 21). Tak pelak, aku-penyair dalam sajak-sajaknya seakan telah memilih beragama pada alam.

Tidak hanya itu, “kekasih”, sebagai ungkapan metaforisnya pada Teluk Benoa ataupun Sanur, bergelimang dalam setiap sajak-sajaknya. Misalnya dalam baris terakhir sajak “Cinta yang Paling Mulia”, Saras Dewi menulis, Cinta adalah teluk/Dan teluk adalah aku. Joko Pinurbo dalam pengantar buku menyebut larik terakhir dalam sajak itu begitu intim, tak lain adalah penghayatan mengenai hubungan cinta kasih manusia dengan alam. Pada alam, manusia menemukan gambaran dirinya, dan dalam dirinya, manusia merasakan arus dan denyut alam (hlm 16).  

Manusia dan alam
Buku puisinya ini juga melengkapi buku Saras Dewi sebelumnya, Ekofenomenologi (2015). Buku tersebut adalah studi filsafat Saras Dewi yang mengurai secara mendalam tentang kesetimbangan antara relasi manusia dan alam. Saras Dewi meminjam pemikiran fenomenologi Martin Heidegger atas kritik terhadap manusia yang merasa dirinya adalah subyek dan memperlakukan alam semata sebagai obyek. Eksploitasi yang dilakukan manusia mengesampingkan keberadaan alam. Alam hanya dijadikan sebagai alat pemuas kepentingan manusia belaka. Kita dapat menemukan keselarasan pandangan Saras Dewi memandang alam dalam kedua bukunya itu. Dalam Ekofenomenologi, Teluk Benoa bukan sekedar teluk melainkan kupu-kupu, ikan-ikan, terumbu karang, penyu hijau, juga bangau di sana.

Seturut itu, buku puisi Saras Dewi ini menjadi penting untuk mengingatkan kita kembali makna fenomenologis hubungan welas asih antara manusia dan alam. Sajak-sajaknya tak hanya romantis, tetapi juga mengisyaratkan kekhawatirannya pada pembangunan di Bali, khususnya reklamasi yang memacak kerusakan alam di Teluk Benoa. Sajak “Kelahiran Anarki” menjadi pengejawantahan atas pendiriannya menolak reklamasi. Saras Dewi bersajak, Anarki lahir dari seorang bocah,/yang menggandeng tangan ayahnya,/berderap tanpa alas kaki, meneriakkan “Bali tolak reklamasi”.

Buku sajaknya ini mengesahkan Saras Dewi sebagai intelektual sekaligus penghayat alam. Kecintaan Saras Dewi pada ilmu pengetahuan sama besanya dengan etos dan eros melawan pelbagai bentuk keangkuhan manusia pada alam. Selain itu, sajak-sajak yang terhimpun dalam buku puisinya ini juga menjelma ingatan saras Dewi pada Bali di masa lalu. Sajak menjadi pertaruhan perlawanan sekaligus kenangan pada keluarga, rumah, pura, teluk, pantai, dan pohon-pohon. Saras Dewi berkenang seperti dalam sajak berjudul “Delima” :/agar segalanya ada dalam diriku/ terjaga di dalam diriku.

Demikianlah ulasan singkat tentang teks ulasan dalam Bahasa Indonesia terkait dengan pengertian, ciri, struktur, dan contohnya. Artikel lain yang dapat dibaca di antaranya adalah contoh resensi non fiksi, contoh resensi buku pelajaran, contoh resensi buku cerpen, contoh resensi buku novel, cara menulis resensi buku, cara menulis resensi film, contoh teks diskusi tentang kesehatan, contoh teks laporan hasil observasi tentang alam, contoh teks eksplanasi, dan contoh autobiografi singkat tentang diri sendiri. Semoga bermanfaat. Terima kasih.

*Disadur dari Harian Kompas, 28 April 2018

Categories: Pelajaran Umum
Ambar: