Sponsors Link

Contoh Hikayat Singkat Bahasa Indonesia

Kesastraan Indonesia sungguh kaya akan berbagai hasil karya yang dapat dibanggakan hingga saat ini. Satu diantaranya adalah hikayat. Hikayat mungkin dikenal sebagai karya sastra lama yang saat ini sudah jarang dijumpai. Hikayat termasuk bentuk prosa lama yang dulu banyak ditemukan dalam bahasa Melayu yang berisi cerita, sekilas dongeng, atau kisah tentang ketakjuban, keajaiban, maupun kehebatan seseorang atau tokoh utamanya. Jadi, secara singkat hikayat dapat dikatakan sebagai karya sastra serupa dongeng yang disajikan dalam bahasa Melayu dengan bercerita tentang keajaiban kisah.

Jenis-Jenis Hikayat

Hikayat dibedakan menjadi dua jenis kategori yaitu berdasarkan kategori isi dan kategori asalnya. Berdasarkan kategori isi hikayat terbagi menjadi :

  • Epos India
  • Cerita Asal Jawa
  • Cerita Rakyat
  • Sejarah dan Biografi
  • Cerita Islam
  • Cerita Bertingkat

Sedangkan menurut asalnya, hikayat terbagi menjadi empat klasifikasi, yaitu :

  • Pengaruh Jawa
  • Melayu Asli
  • Pengaruh Hindu
  • Pengaruh Persia

Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa hikayat dipengaruhi dari beberapa wilayah seperti Arab, Persia, Melayu, India, serta Jawa. Beberapa contoh hikayat yang sangat dikenal dan melegenda hingga saat ini seperti Seribu Satu Malam, Sri Rama, Panji Semirang, Hang Tuah, dan sebagainya.

Ciri-Ciri Hikayat

Jika dilihat dari struktur kebahasaan, penulisan hikayat memiliki ciri-ciri tertentu, antara lain sebagai berikut :

  1. Anonim, pengarangnya tidak diketahui
  2. Statis, tidak mengandung banyak perubahan, tetap
  3. Istana sentris, atau berlatar belakang cerita kerajaan
  4. Kolektif dan komunal, milik bersama
  5. Tradisional, biasanya mengandung tradisi serta budaya dari wilayah tertentu
  6. Memakai pengulangan bahasa
  7. Bersifat edukasi, mendidik benar
  8. Seringkali menceritakan kisah antara kebaikan yang menang melawan keburukan
  9. Khayalan

Contoh Hikayat

  • Hikayat Hang Tuah

Pada suatu ketika ada seorang pemuda yang bernama Hang Tuah, anak dari Hang Mahmud. Mereka tinggal di Sungai Duyung. Pada saat itu, semua orang di sungai Duyung mendengar kabar Teng Raja Bintan yang baik dan sopan kepada semua rakyatnya. Ketika Hang Mahmud mendengar kabar itu, Hang Mahmud berkata kepada istrinya yang bernama Dang Merdu, “Ayo kita pergi ke Bintan, negeri yang sungguh besar, apalagi kita ini adalah orang miskin. Lebih mudah kita mencari pekerjaan disana.” Lalu pada malam harinya, Hang Mahmud bermimpi bulan turun dari langit. Cahayanya penuh diatas kepala Hang Tuah.Hang Mahmud pun terbangun dan mengangkat anaknya serta menciumnya. Seluruh tubuh Hang Tuah berbau seperti wewangian. Saing harinya, Mahmud menceritakan mimpinya pada sang istri dan anaknya. Usai mendengar cerita suaminya, Dang Merdu langsung memandikan dan melulurkan anaknya. Kemudian ia memberikan anaknya kain, baju, serta ikat kepala serba putih. Lalu Dang Merdu member Hang Tuah makan nasi kunyit dan telur ayam. Sang ibu juga memanggil pemuka agama untuk mendoakan keselamatan Hang Tuah. Setelah selesai, dipeluknya Hang Tuah. Hang Mahmud berkata kepada istrinya,” anak ini kita akan menjaganya baik-baik, jangan diberi main jauh-jauh.” Esok harinya, seperti biasa Hang Tuah membelah kayu untuk kebutuhan sehari-hari.

Datanglah seorang pemberontak yang datang ke tengah pasar, banyak orang yang terluka bahkan mati karena ulah pemberontak. Pemilik took meninggalkan tokonya dan melarikan diri menuju kampung. Gemparlah negeri Bintan tersebut dan terjadi kekacauan dimana-mana. Ada seseorang yang sedang melarikan diri berkata kepada Hang Tuah. “Hai Hang Tuah, hendak matikah kau tidak masuk ke kampung?” Maka kata Hang Tuah sambil membelah kayu, “Negeri ini memiliki prajurit yang akan membunuh, ia pun akan mati olehnya.”saat ia sedang berbicara ibunya melihat bahwa pemberontak itu menuju Hang Tuah sambil menghunuskan kerisnya.

Ibunya berteriak dari atas toko,”Hai anakku cepat lari ke atas toko”. Hang Tuah tidak mendengarkan kata ibunya. Ia pun langsung berdiri dan memegang kapak menunggu amarah pemberontak itu. Pemberontak yang datang ke hadapan Hang Tuah lalu menikamnya bertubi-tubi. Maka Hang Tuah pun melompat dan mengelak dari tikaman orang itu. Hang Tuah mengayunkan kapaknya ke kepala pemberontak, terbelah kepala pemberontak itu hingga mati. Maka seseorang yang menyaksikan peristiwa itu berteriak, “Dia akan menjadi perwira besar di tanah Melayu ini.”

Terdengarlah berita hebat itu ke telinga kawannya, Hang Jebat, Hang Kesturi, Hang Lekir, dan Hang Lekui. Mereka langsung berlari mendapatkan Hang Tuah. Hang Jebat dan Hang Kesturi bertanya kepadanya,”Apakah benar engkau membunuh pemberontak dengan kapak?” Hang Tuah pun tersenyum dan menjawab, “Pemberontak itu tidak pantas dibunuh dengan keris, melainkan dengan kapak untuk kayu.”

Kemudian karena kejadian itu, baginda raja sangat mensyukuri adanya sang Hang Tuah. Jika ia tidak datang ke istana, pasti ia akan dipanggil oleh Sang Raja. Maka Tumenggung pun berdiskusi dengan pegawai lain yang iri hati pada Hang Tuah. Datanglah mereka pada sang Raja setelah diskusi usai.

Maka saat Baginda Raja tengah duduk di tahtanya bersama para bawahannya. Tumenggung beserta beberapa kawannya yang lain datang sambil berlutut. Mereka menyembah sang Raja,”Hormat Tuanku, saya mohon ampun dan berkat, ada banyak berita yang sampai ke telinga saya tentang adanya pengkhianatan. Kabar itu sudah lama hamba dengar”.
“Hai kalian, apa yang sebenarnya kalian bicarakan?”Tanya sang Raja.

“Hormat Paduka, pegawai saya sebenarnya sungguh tidak berani untuk menghadap, namun Tuhan berkehendak.” Jawab Tumenggung.

“Hai Tumenggung, katakana saja, kita akan membalasnya,” sahut Baginda.

Tumenggung pun menjawab,”Hormat Tuanku, mohon ampun, untuk kemari saja hamba sudah takut, namun hamba akan menceritakannya”.

Usai Baginda mendengar cerita yang keluar dari Tumenggung, maka Baginda bertanya,”Siapakah orang itu, Hang Tuah?”.
“Siapa lagi yang berani melakukannya selain Hang Tuah?, jawab Tumenggung sambil bercerita bahwa kala itupegawainya melihat Hang Tuah tengah bersama seorang gadis di istana yang mereka merencanakan sesuatu untuk kerajaan. Perempuan itu bernama Dang Setia.

Hamba takut ia akan melakukan sesuatu pada perempuan itu, maka hamba datang dengan dikawal untuk mengawasi. Setelah Baginda mendengar hal itu, murkalah ia, sampai mukanya merah padam. Lalu ia bertitah kepada para pegawai yang berhati jahat itu,”Pergilah, singkirkan ia.”

Maka Hang Tuah tidak lagi pernah terdengar di dalam negeri itu, namun Hang Tuah tidak pernah mati, karena selain perwira besar, ia adalah wali Allah. Kabarnya saat ini Hang Tuah berada di puncak dulu sungai Perak. Disana dirinya duduk menjadi raja dari segala Batak dan orang hutan. Sekarang pun raja ingin bertemu dengan seseorang, lalu ditanyakan orang itu dan dia berkata,” Tidakkah tuan ingin mempunyai istri?”

“Saya tidak ingin mempunyai istri lagi, jawabnya.

TAMAT

  • Hikayat Abu Nawas

“Botol Ajaib”Tidak ada hentinya, tiada kapok-kapoknya. Sang Baginda selalu memanggil Abu Nawas untuk dijebak dengan berbagai pertanyaannya atau tugas yang tidak masuk diakal. Hari ini pun Abu Nawas juga dipanggil ke istana. Usai tiba di istana, Sang Baginda Raja menyambutnya dengan sebuah senyuman. “Akhir-akhir ini aku sering mendapat gangguan perut. Kata tabib pribadiku, aku kena serangan angin.” Ucap Baginda memulai percakapan.

“Ampun Tuanku, sekiranya apa yang bisa hamba lakukan hingga Baginda memanggil hamba”, Tanya Abu Nawas.

“Aku hanya ingin engkau menangkap angin yang menyerangku dan memenjarakannya”. Kata Baginda.

Abu Nawas terdiam. Tanpa sepatah kata keluar dari mulutnya. Ia tidak memikirkan cara untuk menangkap angin, namun ia berpikir untuk membuktikan bahwa tangkapannya adalah benar angin. Angin tidak bisa dilihat, begitu pikirnya. Tidak ada benda paling aneh dibandingkan dengan angin. Tidak sama seperti air, yang meskipun tidak berwarna tetapi masih bisa untuk dilihat wujudnya. Sang Baginda Raja hanya memberikan waktu selama tiga hari untuk Abu Nawas.

Abu Nawas pulang dan membawa pekerjaan rumah dari Baginda Raja. Namun, dirinya tidak tampak sedih, karena memang dia sangat percaya pada takdir. Abu yakin bahwa dengan berpikir akan terbentang jalan keluar dari kesulitan yang dihadapi. Dengan berpikir, dirinya percaya bisa memberikan sesuatu pada orang lain yang membutuhkan terutama orang-orang miskin. Tidak jarang memang Abu Nawas membawa uang emas hasil pemberian sang Baginda atas kecerdikkannya.

Namun, sudah dua hari ini Abu Nawas belum memperoleh ide untuk menangkap angin apalagi memenjarakannya. Esok adalah hari terakhir dan ia hampir putus asa. Abu Nawas sampai tidak mampu tidur karena memikirkan hal itu. Mungkin sudah takdir, karena sepertinya kali ini Abu Nawas harus dihukum karena gagal memenjarakan angin. Ia berjalan lemas menuju istana. Di sela kepasrahannya, dirinya teringat akan Aladin dan lampu wasiat.

“Bukankah jin itu tidak terlihat?”, gumam Abu Nawas. Ia pun berlari pulang dengan girangnya. Sesampainya di rumah, secepat mungkin Ia menyiapkan segala yang diperlukan, kemudian menuju istana. Di pintu gerbang istana, Abu Nawas dipersilahkan masuk oleh pengawal yang sudah mengenalnya sejak lama. Apalagi Baginda Raja sudah menunggunya sejak lama.

Dengan tergesa Sang Baginda bertanya kepada Abu Nawas, “Sudahkah kau memenjarakan angin Abu Nawas?”.

“Sudah Baginda, “jawab Abu Nawas dengan lantang. Dengan muka berseri sambil mengeluarkan botol yang sudah disumbat. Abu Nawas menyerahkan botol tersebut pada sang Raja. Baginda melihat dan memperhatikan botol dengan seksama.

“Mana angin itu, hai Abu Nawas?”, Tanya Baginda.

“Di dalam Tuanku Yang Mulia.”

“Aku tak tampak apapun”, kata Baginda lagi.

“Ampun Tuanku, memang angin tidak bisa dilihat, tetapi bila Paduka ingin tahu angin, tutup botol itu boleh dibuka.” Kata Abu Nawas.

Setelah tutup botol dibuka sang Baginda mencium bau kentut yang amat busuk.
“Bau apa ini, hai Abu Nawas?”, Tanya Baginda

“Ampun Tuanku, hamba tadi buang angin dan memasukan angin ke dalam botol agar tidak lagi menyerang. Maka hamba memenjarakannya dalam botol.” Jawab Abu Nawas sambil ketakutan.

Sang Baginda Raja tidak sampai hati untuk marah kepada Abu Nawas. Hal itu dikarenakan alas an dan penjelasan Abu Nawas yang dinilai masih masuk akal. Abu Nawas pun tidak jadi dihukum dan selamat

TAMAT

  • Hikayat Ibnu Hasan Syahdan

Zaman dahulu kala, ada seorang kaya hartawan bernama Syekh Hasan, banyak harta dan uang, terkenal disetiap negeri, merupakan orang terkaya, bertempat tinggal di negeri Baghdad, yang tersohor kemana-mana sebagai kota paling ramai saat itu.

Syekh Hasan sangat bijaksana, mengasihi fakir miskin, menyayangi yang kekurangan, menasehati yang berpikiran sempit, mengingatkan orang yang bodoh, diajari ilmu ,yang baik, walaupun harus mengeluarkan biaya, berupa pakaian atau uang, karena itu banyak pengikutnya.

Syekh Hasan saudagar yang kaya raya, memiliki seorang anak laki-laki yang tampan, pendiam dan baik budinya, berusia sekitar tujuh tahun, Ibnu Hasan namanya. Ibnu Hasan sedang lucu-lucunya, semua orang senang melihatnya, apalagi orang tuanya. Namun demikian, anak itu tidak sombong, kalem, walaupun hidupnya dimanjakan, tidak kekurangan sandang, namun Ibnu Hasan tidak suka bersolek, karena itu kedua orang tuanya sangat menyayanginya.

Ayahnya berpikir,”Alangkah salahnya aku, menyayangi diluar batas, tanpa pertimbangan, bagaimana kalau akhirnya dimurkai Allah Yang Agung, aku pasti durhaka, tak dapat mendidik anak, mengkaji ilmu yang bermanfaat.”
Dipanggilnya puteranya, anak itu segera mendekati ayahnya. Diusap-usap putranya sambil dinasihati, bahwa ia harus mengaji, katanya “Sekarang saatnya anakku, sebenarnya aku kuatir, tapi pergilah ke Mesir, carilah jalan menuju keutamaan.

Ibnu Hasan menjawab,”Ayah jangan ragu-ragu, jangankan menuju kemuliaan, jalan kematian pun hamba jalani semua kehendak orang tua, akan hamba turuti, tidak akan kutolak, siang malam hanya perintah ayah dan ibu yang hamba nanti.
Singkat cerita, Ibnu Hasan yang akan berangkat ke pesantren, berpisah dengan kedua orang tuanya, hatinya sangat sedih, ibunya tidak tahan menangis. Harus berpisah dengan putranya yang masih kecil, belum cukup usia.

“Kelak, apabila ananda sudah sampai, ke tempat merantau, pandai-pandailah menjaga diri, karena jauh dari orang tua, harus tahu ilmunya hidup, jangan keras kepala, angkuh dan menyombongkan diri, merasa lebih dari yang lain, merasa diri orang kaya lalu menghina sesama. Kalau begitu perbuatanmu, hidupmu tidak akan senang karena dimusuhi semua orang, tidak akan ada yang mau menolong, kalau celaka tidak akan diperhatikan, berada di rantau orang kalau judes akan mendapat kesusahan. Hati-hatilah menjaga diri jangan anggap enteng segala hal.

“Apa yang ibu katakana, akan selalu kuingat dan kucatat dalam hati, doakan aku agar selamat, semoga jangan sampai menempuh jalan yang salah, pesan ibu akan aku perhatikan siang dan malam.”

Singkat cerita, Ibnu Hasan sudah berangkat dikawal dua pengasuhnya sejak kecil. Mairin dan Mairun. Mereka berjalan kaki. Sampailah di pusat kota Mesir.

Pada suatu hari usai tengah hari, Ibnu Hasan sedang berjalan dan bertemu dengan seseorang bernama Saleh yang baru pulang dari sekolah, Ibnu Hasan menyapa,”Anda pulang dari mana?”

Saleh menjawab dengan sopan,”Saya pulang sekolah.” Ibnu Hasan bertanya lagi,”Sekolah itu apa?”Coba jelaskan padaku.”
“Sekolah itu tempatnya ilmu, tempatnya belajar, berhitung, menulis, membaca, belajar tata karma, harus sesuai dengan aturan.”

Begitu Ibnu Hasan mendengar penjelasan tersebut, betapa girang hatinya dan segera pulang menghadap sang Kyai serta meminta izin untuk belajar ke sekolah, guna mencari ilmu. Sekarang katakana padaku apa yang sebenarnya kamu harapkan?”, Tanya Kyai

Dia berkata demikian bertujuan untuk menguji si murid apakah betul ingin mencari ilmu atau hanya beralasan suapaya mendapat pujian. Ibnu Hasan menunduk, menjawab agak malu,”Hamba ingin menjelaskan mengapa hamba bersusah payah, tanpa mengenal lelah mencari ilmu.

Memang sangkaan orang begitu karena ayahku kaya raya, tidak kekurangan uang. Namun pendapat hamba tidak demikian, akan sangat memalukan seandainya ayah sudah tiada, semua harta jatuh ke tangan hamba sementara hamba tidak mampu mengelolanya dengan baik. Disitulah hamba terlihat semakin bodoh.

Pangkat anak pun begitu pula walaupun tidak boleh melebihi orang tuanya, paling tidak harus sama dengan orang tuanya.
Maka yakinlah sang Kyai dengan keinginan muridnya itu dan mengizinkannya menjmba ilmu di sekolah.

TAMAT

Demikian Artikel informatif mengenai contoh hikayat singkat bahasa Indonesia. Semoga bermanfaat!

, , , , , , ,
Post Date: Thursday 13th, April 2017 / 14:59 Oleh :
Kategori : hikayat