5 Ciri-ciri Prosa Baru dalam Bahasa Indonesia
Menurut Irman dkk (2008) yang dimaksud dengan prosa adalah karya sastra yang berbentuk cerita yang bebas, tidak terikat oleh rima, irama, dan kemerduan bunyi seperti puisi. Bahasa yang digunakan dalam prosa adalah bahasa sehari-hari. Sementara itu, menurut E. Kosasih (2008), yang dimaksud dengan prosa adalah karya sastra yang disusun dalam bentuk cerita atau narasi. Prosa pada umumnya merupakan cangkokan dari bentuk monolog dan dialog. Oleh karena itu, prosa disebut juga dengan teks cangkokan. Dalam teks pencangkokan, pencerita atau pengarang mencangkokkan pikirannya ke dalam pikiran-pikiran tokoh sehingga timbullah dialog di antara tokoh-tokohnya itu, padahal dialog-dialog itu adalah cetusan pikiran pengarangnya.
Berdasarkan sejarah perkembangan sastra Indoensia, prosa dapat dibagi ke dalam dua kelompok yaitu prosa lama dan prosa baru. Prosa lama adalah karya sastra Nusantara yang belum mendapat pengaruh dari sastra Eropa. Jenis-jenis prosa lama yaitu hikayat, cerita berbingkai, dan dongeng. Sedangkan prosa baru adalah karya sastra yang telah mendapat pengaruh dari sastra Barat. Jenis-jenis prosa baru yaitu prosa nonfiksi (biografi dan autobiografi, kritik, esai), dan prosa fiksi (cerpen, novel, roman). Pada kesempatan kali ini, kita hanya akan mengulas tentang prosa baru terkait dengan ciri beserta contoh masing-masing.
Pengertian Prosa Baru
Prosa baru adalah salah satu dari jenis-jenis prosa dalam bahasa Indonesia yang banyak dipengaruhi oleh kesusastraan Barat. Menurut Irman dkk (2008), sebagai karya sastra, prosa baru dibagi ke dalam dua jenis yaitu prosa fiksi dan prosa nonfiksi.
- Prosa fiksi adalah prosa yang berupa cerita rekaan atau khayalan pengarangnya. Isi cerita tidak sepenuhnya berdasarkan pada fakta. Prosa fiksi disebut juga karangan narasi sugesti atau imajinatif. Adapun jenis-jenis prosa fiksi adalah cerpen, novel, dan roman. Prosa fiksi memiliki unsur intrinsik dan ekstrinsik yang membangun dan mempengaruhi prosa fiksi. Yang termasuk unsur intrinsik prosa baru yaitu tema, alur/plot, penokohan, latar/setting, amanat, sudut pandang pengarang, dan gaya bahasa. Sedangkan yang termasuk unsur ekstrinsik prosa baru adalah biografi pengarang, situasi, dan kondisi sosial.
- Prosa nonfiksi adalah karangan yang tidak berdasarkan rekaan atau khalayalan pengarang, tetapi bersisi hal-hal yang berupa informasi faktual (kenyataan) atau berdasarkan pengamatan pengarang. Karangan ini diungkapkan secara sistematis, kronologis, atau kilas balik dengan menggunakan bahasa semiformal. Karangan ini berbentuk eksposisi, persuasi, deskripasi, atau campuran. Prosa nonfiksi disebut juga karangan semi ilmiah. Adapun jenis-jenis prosa nonfiksi atau jenis-jenis karangan semi ilmiah adalah artikel, tajuk rencana, opini, feature, tips, biografi, reportase, iklan, pidato, kritik, esai, dan sebagainya.
Ciri-ciri Prosa Baru
Prosa baru memiliki beberapa ciri khusus yang membedakannya dari prosa lama. Adapun ciri-ciri prosa baru adalah sebagai berikut.
1. Tertulis
Berbeda dengan prosa lama yang dikenal dengan sebutan sastra lisan karena disebarluaskan secara lisan, prosa baru pada umumnya berbentuk dan disebarluaskan dalam bentuk tulisan. Hal ini sejalan dengan perkembangan teknologi setelah ditemukannya mesin cetak. Karena itu, semua jenis prosa baru ditulis, dicetak, dan disebarluaskan dalam bentuk buku.
2. Bersifat realistis
Umumnya, prosa baru mengangkat masalah-masalah kemasyarakatan. Dengan kata lain, yang menjadi tema prosa baru pada umumnya adalah kehidupan masyarakat sehari-hari misalnya tentang adat, pekerjaan, persoalan rumah tangga, kesenjangan antara kaum tua dan kaum muda, kehidupan masyarakat kota, masalah individu manusia, nasionalisme, kemiskinan, pelanggaran hak asasi manusia, ketidakadilan, pertentangan politik, dan lain-lain. Contohnya adalah Azab dan Sengsara karya Merari Siregar, Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana, Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma karya Idrus, Atheis karya Achdiat Karta Mihardja, dan lain sebagainya.
3. Dinamis
Suatu karya sastra seperti prosa baru juga akan mengalami perubahan seiring dengan berjalannya waktu. Perubahan yang terjadi umumnya terkait dengan bentuk serta masalah atau tema yang diangkat dalam prosa baru, yang biasanya sangat berkaitan erat dengan situasi dan kondisi sosial saat prosa baru itu dibuat. Hal ini dapat kita lihat dari periodisasi karya-karya prosa Indonesia yang dirumuskan oleh Rachmat Djoko Prodopo (1995) yang terdiri dari Periode Balai Pustaka (20-30an), Periode Pujangga Baru, Periode 1945, Periode Angakatan 50, Periode Angkatan 70, Periode 90an, dan Periode 2000an.
- Periode Balai Pustaka. Periode ini berlangsung kurang lebih 20 tahun dan melemah pada tahun 1940an. Jenis prosa yang berkembang pada periode ini adalah roman dan novel yang bersifat kedaerahan dengan tema masalah-masalah adat, kesenjangan antara kaum tua dan kaum muda. Contoh prosa periode Balai Pustaka adalah Salah Asuhan karya Abdul Muis (roman) dan Kalau Tak Untung karya Selasih (novel).
- Periode Pujangga Baru. Periode ini berlangsung mulai tahun 1930 hingga 1945. Jenis prosa yang berkembang pada periode ini adalah roman dan cerita pendek dengan tema masalah individu manusia dan nasionalisme. Contoh prosa periode Pujangga Baru di antaranya adalah Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisyahbana dan Belenggu karya Armijn Pane.
- Periode 1945. Periode ini berlangsung mulai tahun 1940 hingga penghujung tahun 1950an. Berbagai jenis prosa di periode ini dipengaruhi oleh keadaan saat itu dimana Indonesia tengah dijajah oleh Jepang. Adapun jenis prosa yang berkembang pada periode ini adalah cerita pendek dengan tema masalah-masalah kemasyarakatan seperti kemiskinan, pelanggaran hak asasi manusia, ketidakadilan, dan lain-lain. Contoh prosa baru cerpen di periode ini di antaranya adalah Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma (kumpulan cerpen) karya Idrus dan Atheis karya Achdiat Karta Mihardja.
- Periode Angakatan 50. Periode ini berlangsung selama kurang lebih 20 tahun yakni antara tahun 1950an hingga 1970. Berbagai jenis prosa periode ini banyak dipengaruhi oleh situasi dan kondisi saat itu dimana Indonesia berada dalam sistem demokrasi parlementer liberal. Jumlah partai di Indonesia saat itu sangat banyak dan masing-masing partai memiliki lembaga kebudayaan sendiri sebagai upaya mensosialisasikan ideologi masing-masing partai. Tidak sedikit sastrawan yang menjadi anggota lembaga kebudayaan dari partai politik sehingga karya sastra yang dihasilkan pun cenderung mensosialisasikan ideologi partai. Namun bagi sastrawan yang tidak bergabung ke dalam lembaga kebudayaan bentukan partai politik cenderung lebih netral dalam berekspresi dan lebih menitikberatkan pada kemanusiaan. Adapun yang menjadi tema karya sastra pada masa itu adalah masalah pertentangan politik, kehidupan masyarakat sehari-hari, dan protes terhadap kebijakan Orde Lama. Contoh prosa baru cerpen dan novel di periode ini di antaranya adalah Pulang (novel) karya Toha Mochtar dan Di Tengah Padang (kumpulan cerpen) karya Bokor Hutasaut.
- Periode Angkatan 70. Periode ini berlangsung antara tahun 1960an hingga penghujung tahun 1980an. Periode Angakatan 70 banyak dipengaruhi oleh situasi dan kondisi saat itu yang merupakan masa transisi dari Orde Lama ke Orde Baru. Selain itu, arus kebudayaan Barat pun sangat kuat sehingga memengaruhi berbagai jenis karya sastra saat itu. Adapaun permasalahan yang diangkat adalah masalah nilai tradisional dan modern. Contoh prosa baru novel di periode ini di antaranya adalah Stasiun karya Putu Wijaya dan Olenka karya Budi Darma.
- Periode Angtakan 90an. Periode ini berlangsung selama tahun 1990an. Periode ini dilatarbelakangi oleh situasi dan kondisi saat itu, salah satunya adalah jatunya rezim Orde Baru. Tema yang diangkat umumnya tentang sosial politik. Adapun jenis prosa yang berkembang masa itu adalah puisi, novel, cerpen koran dan cerpen Islami.
- Periode Angkatan 2000an. Periode ini berlangsung mulai tahun 2000 hingga kini. Di periode ini penulis perempuan unjuk gigi dengan berbagai karyanya dengan mengangkat tema feminisme dan fiksi Islami. Contohnya adalah Ode untuk Leopold Von Sacher Masoch karya Djenar Maesa Ayu.
4. Tidak anonim
Jika prosa lama tidak diketahui siapa nama pengarangnya karena disebarluaskan secara lisan maka prosa baru selalu diketahui siapa yang nama pengarangnya. Hal ini disebabkan berbagai jenis prosa baru disebarluaskan dalam bentuk tulisan dan dicetak dalam bentuk buku sehingga dapat didokumentasikan dan diketahui nama pengarangnya.
5. Dipengaruhi sastra Barat
Salah satu perbedaan prosa lama dan prosa baru terletak pada pengaruh kesusastraan Barat. Prosa baru lebih banyak dipengaruhi oleh kesusastraan Barat dibandingkan dengan prosa lama. Jika prosa lama dalam bahasa Indonesia memiliki akar dari tradisi budaya asli Indonesia maka berbagai jenis prosa baru seperti cerpen, novel, roman, atau novelet sejatinya merupakan pengaruh dari tradisi kesusastraan Barat. Pengaruh ini diperoleh sejalan dengan datangnya para penjajah Barat ke Indonesia. Prosa yang berasal dari tradisi Barat itu kemudian diadopsi pertama kali oleh sastrawan Indonesia melalui penerjemahan dan penyaduran. Kemudian, para sastrawan Indonesia menciptakan sendiri prosa baru yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Prosa baru dalam bahasa Indonesia ini mulai berkembang sejak tahun 1920an hingga kini.
Demikianlah ulasan singkat tentang ciri-ciri prosa baru. Artikel lain yang dapat dibaca di antaranya adalah contoh novel singkat, contoh novel terjemahan, contoh esai singkat, dan contoh kritik singkat. Semoga bermanfaat. Terima kasih.